TAHTA PARA DEMONSTRAN Kudengar lagi detak jantung membahana malam ini Bukan sakit bukan luka bukan ketakutan Apalagi dendam Serambi dan biliknya menyanyikan lagu rindu Pada pemenuhan bukan keluhan Pada kesungguhan bukan kekufuran Seperti hujan kemarin Perciknya membasahi ladang gersang Cacing-cacing dan tikus-tikus berhamburan Lari terbirit-birit Yang tangguh lagi berjiwa besi Menari-nari dengan tangkas ditengah hujan batu Dan derasnya letupan asap yang membumbung Jangan menyerah Apalagi mundur Seikat badik diujung lidahmu Telah berkali-kali diasah Tusukkan badikmu tepat dibuhul para edan Laknat Ilahi baginya menyertai
Bila detakmu redup padam Tirai cahaya di atas cahaya telah dibuka Terbenamlah di sana Karena itu tahta bagimu Andi Tonro, 30 Juni 2013
PENAWAR LUKA Sengaja kau siapkan kain basah Bagi air mata jelata Biar tak nampak butirannya menetes di dasar bumi Tetap saja akan tumpah Sebab para teknokrat menyulut api Hingga sulit mereka padamkan Ah… Tak usah geram Bila babi hutan dan tikus got melenggok diistana presidenan Bukankah dikarbit untuk jadi pemain akrobatik Menghisab dan menjarah jadi talenta tiada tanding Takkan tercium aroma peluh para demonstran Bila babi hutan dan tikus got tak berlaga diseantero instansi pemerintahan Seikat karangan bunga bagi si miskin Sebagai penawar luka Biar tak beriak
BULIR PADI UNTUK ANAK CUCU Kupayungkan kafan kelabu pada Nusa Karena esok akan datang masa paceklik Sudah! Jangan menunggu bapak menunggang kuda BMW dan Merci baru saja membawanya Jauh jauh ke seletan Jejaki saja tapak kuda kemarin pagi Lalu punguti bulir padi di sepanjangnya Akan kutemani kau menyemai Biar tak disesali anak cucuk kelak
Malam ini bulan redup Sayup-sayup kulihat bayangmu mengintip lewat mata angin Mendekatlah cinta jangan meragu Aku dan sunyi jenuh dengan ratap pilu tak bertepi Kursi dihadapanku telah usang, lama tak kau singgahi Hanya debu dan dedaunan yang mampir silih berganti Kutahu dikeduanya kau mengirim kecup manis untukku
Sepasang kunang-kunang dari segenap sendi siramkan cahyanya Pada hati yang sebentar lagi padam dalam penantian Pada jiwa yang sebentar lagi goyah oleh rong-rongan angin malam Tengoklah kedalam bilik jantungku Dilembarannya tertata rapi karangan puisi Sebagai halwat bahwa aku masih setia Aku masih rapi tak terjama
Tahun lalu kau merangkai mawar putih Persembahan bagi wanita yang enggan kau sebut namanya Maklumatku menyertai gelegakmu Bulan kemarin kau ikrar cinta pada kawan mala Kusunggingkan senyum manis Lalu tempo hari kau lengkungkan janur kuning dengan suci Hatiku masih bisa bersenda gurau
Hari-hari terakhirku hilang warna Langit dan bumi jadi kelabu Burung-burung mematuk wajahku hingga pucat pasi Bahkan sepi dan malam enggan berdamai denganku Kutelusuri benang cahaya pada lorong-lorong dan di sepanjang gang-gang Terdengar bisik dari kejauhan bahwa kau tak di sana Jalan dan aspal menasihatiku Namun aku kokoh Penduduk kota memberkati langkahku Dan semangatku terbakar habis olehnya Pada pampflet-pamflet kusam, pada tembok-tembok berlumut, pada tiang listri yang angkuh, pada apa saja yang kulalui kuukir namamu Pada Koran-koran kusut, pada pembungkus makanan ringan, pada botol bekas minuman yang tergeletak, pada dedaunan yang terhempas angin, juga pada langit remang kulukis wajahmu Aku juga memanggil-manggilmu pada semua bunyi-bunyian
Langkah lunglai tak merobohkan hasratku Meski harus bergerayam air mata Hingga nampak kabut putih dan asap mengepul dikelopak
Di atas jalan sempit yang ditanami duri, kerikil tajam, dan bunga-bunga lagi dikelilingi serigala buas dan kupu-kupu yang selalu molek kudapati kau diantaranya menari-nari dalam gelobang rapuh
beranjaklah beranjaklah cintaku adalah kedustaan menelan pil pahit bila rasa dan rasio tidak pada quantumnya
dan sampai fajar menutup usia bara cinta tak akan padam karena telah kupahat lama namamu pada altar keabadian meski jemarimu tak dapat mendekap bongkahan ragaku
DUKA KUDA PEJANTAN
BalasHapusMenyingsing kelam
Lebur mentari pagi di penghujung taon
Di seberang laut
Terkapar merana kuda pejantan
Di bungkus rapi tulang pada kulit
Detak jantung mengalun manis
Memantul papan pembaringan
Liur dan air tak temui aliran
Apalagi beras dan singkong?
Guratan duka terpancar
Pada bola mata ibu yang usang
Sungging senyum ayah
Pudar oleh tetesan air mata yang mengering
Malangnya Kuda pejantan
Dan setiap kisah berada di tanganNya
Andi Tonro, 30 Des. 2012
NASHIHAH
BalasHapusTatkala aroma melati semerbak pada pusara
Raungan anak yatim bertalu-talu dibilik jendela
Seperti nyanyian burung malam
Ia membawa tragedi tak bertepi
Kepada siapa lagi semua kan kau tuju
Bukankah bening air akan bermuara pada laut lepas
Dan bongkahan tanah akan bertahta di dasar bumi
Apa yang hendak kau jadikan tameng
Baju emasmu
Singgahsanamu
Rupa dan lentik matamu
Tetua-tetuamu
Ataukah butiran huruf yang melekat pada namamu
Tak pelak
Semua kan jadi abu
Terbang bersama debu
Lalu sirna oleh waktu
Barangkali kita perlu kontemplasi
Bahwa yang jauh pun yang dekat
Ada dalam peluk-Nya
Tataplah jemarimu
Dan itu sudah cukup
Guratannya kandung pancaran cahaya
Andi Tonro, 30 Juni 2013
TAHTA PARA DEMONSTRAN
BalasHapusKudengar lagi detak jantung membahana malam ini
Bukan sakit bukan luka bukan ketakutan
Apalagi dendam
Serambi dan biliknya menyanyikan lagu rindu
Pada pemenuhan bukan keluhan
Pada kesungguhan bukan kekufuran
Seperti hujan kemarin
Perciknya membasahi ladang gersang
Cacing-cacing dan tikus-tikus berhamburan
Lari terbirit-birit
Yang tangguh lagi berjiwa besi
Menari-nari dengan tangkas ditengah hujan batu
Dan derasnya letupan asap yang membumbung
Jangan menyerah
Apalagi mundur
Seikat badik diujung lidahmu
Telah berkali-kali diasah
Tusukkan badikmu tepat dibuhul para edan
Laknat Ilahi baginya menyertai
Bila detakmu redup padam
Tirai cahaya di atas cahaya telah dibuka
Terbenamlah di sana
Karena itu tahta bagimu
Andi Tonro, 30 Juni 2013
PENAWAR LUKA
BalasHapusSengaja kau siapkan kain basah
Bagi air mata jelata
Biar tak nampak butirannya menetes di dasar bumi
Tetap saja akan tumpah
Sebab para teknokrat menyulut api
Hingga sulit mereka padamkan
Ah…
Tak usah geram
Bila babi hutan dan tikus got melenggok diistana presidenan
Bukankah dikarbit untuk jadi pemain akrobatik
Menghisab dan menjarah jadi talenta tiada tanding
Takkan tercium aroma peluh para demonstran
Bila babi hutan dan tikus got tak berlaga diseantero instansi pemerintahan
Seikat karangan bunga bagi si miskin
Sebagai penawar luka
Biar tak beriak
Andi Tonro, 2 Juli 2013
BULIR PADI UNTUK ANAK CUCU
BalasHapusKupayungkan kafan kelabu pada Nusa
Karena esok akan datang masa paceklik
Sudah!
Jangan menunggu bapak menunggang kuda
BMW dan Merci baru saja membawanya
Jauh jauh ke seletan
Jejaki saja tapak kuda kemarin pagi
Lalu punguti bulir padi di sepanjangnya
Akan kutemani kau menyemai
Biar tak disesali anak cucuk kelak
Andi Tono, 3 Juli 2013
SAMPAI FAJAR MENUTUP USIA
BalasHapusMalam ini bulan redup
Sayup-sayup kulihat bayangmu mengintip lewat mata angin
Mendekatlah cinta jangan meragu
Aku dan sunyi jenuh dengan ratap pilu tak bertepi
Kursi dihadapanku telah usang, lama tak kau singgahi
Hanya debu dan dedaunan yang mampir silih berganti
Kutahu dikeduanya kau mengirim kecup manis untukku
Sepasang kunang-kunang dari segenap sendi siramkan cahyanya
Pada hati yang sebentar lagi padam dalam penantian
Pada jiwa yang sebentar lagi goyah oleh rong-rongan angin malam
Tengoklah kedalam bilik jantungku
Dilembarannya tertata rapi karangan puisi
Sebagai halwat bahwa aku masih setia
Aku masih rapi tak terjama
Tahun lalu kau merangkai mawar putih
Persembahan bagi wanita yang enggan kau sebut namanya
Maklumatku menyertai gelegakmu
Bulan kemarin kau ikrar cinta pada kawan mala
Kusunggingkan senyum manis
Lalu tempo hari kau lengkungkan janur kuning dengan suci
Hatiku masih bisa bersenda gurau
Hari-hari terakhirku hilang warna
Langit dan bumi jadi kelabu
Burung-burung mematuk wajahku hingga pucat pasi
Bahkan sepi dan malam enggan berdamai denganku
Kutelusuri benang cahaya pada lorong-lorong dan di sepanjang gang-gang
Terdengar bisik dari kejauhan bahwa kau tak di sana
Jalan dan aspal menasihatiku
Namun aku kokoh
Penduduk kota memberkati langkahku
Dan semangatku terbakar habis olehnya
Pada pampflet-pamflet kusam, pada tembok-tembok berlumut, pada tiang listri yang angkuh, pada apa saja yang kulalui kuukir namamu
Pada Koran-koran kusut, pada pembungkus makanan ringan, pada botol bekas minuman yang tergeletak, pada dedaunan yang terhempas angin, juga pada langit remang
kulukis wajahmu
Aku juga memanggil-manggilmu pada semua bunyi-bunyian
Langkah lunglai tak merobohkan hasratku
Meski harus bergerayam air mata
Hingga nampak kabut putih dan asap mengepul dikelopak
Di atas jalan sempit
yang ditanami duri, kerikil tajam, dan
bunga-bunga lagi dikelilingi serigala
buas dan kupu-kupu yang selalu molek
kudapati kau diantaranya menari-nari dalam gelobang rapuh
beranjaklah
beranjaklah cintaku
adalah kedustaan menelan pil pahit
bila rasa dan rasio tidak pada quantumnya
dan sampai fajar menutup usia
bara cinta tak akan padam
karena telah kupahat lama namamu pada altar keabadian
meski jemarimu tak dapat mendekap bongkahan ragaku
Andi Tonro, 3 Juli 2013