Kamis, 27 Februari 2014

Sastra

6 komentar:

  1. DUKA KUDA PEJANTAN

    Menyingsing kelam
    Lebur mentari pagi di penghujung taon

    Di seberang laut
    Terkapar merana kuda pejantan
    Di bungkus rapi tulang pada kulit
    Detak jantung mengalun manis
    Memantul papan pembaringan

    Liur dan air tak temui aliran
    Apalagi beras dan singkong?

    Guratan duka terpancar
    Pada bola mata ibu yang usang
    Sungging senyum ayah
    Pudar oleh tetesan air mata yang mengering

    Malangnya Kuda pejantan

    Dan setiap kisah berada di tanganNya

    Andi Tonro, 30 Des. 2012

    BalasHapus
  2. NASHIHAH

    Tatkala aroma melati semerbak pada pusara
    Raungan anak yatim bertalu-talu dibilik jendela
    Seperti nyanyian burung malam
    Ia membawa tragedi tak bertepi

    Kepada siapa lagi semua kan kau tuju
    Bukankah bening air akan bermuara pada laut lepas
    Dan bongkahan tanah akan bertahta di dasar bumi

    Apa yang hendak kau jadikan tameng
    Baju emasmu
    Singgahsanamu
    Rupa dan lentik matamu
    Tetua-tetuamu
    Ataukah butiran huruf yang melekat pada namamu

    Tak pelak
    Semua kan jadi abu
    Terbang bersama debu
    Lalu sirna oleh waktu

    Barangkali kita perlu kontemplasi
    Bahwa yang jauh pun yang dekat
    Ada dalam peluk-Nya

    Tataplah jemarimu
    Dan itu sudah cukup

    Guratannya kandung pancaran cahaya

    Andi Tonro, 30 Juni 2013

    BalasHapus
  3. TAHTA PARA DEMONSTRAN
    Kudengar lagi detak jantung membahana malam ini
    Bukan sakit bukan luka bukan ketakutan
    Apalagi dendam
    Serambi dan biliknya menyanyikan lagu rindu
    Pada pemenuhan bukan keluhan
    Pada kesungguhan bukan kekufuran
    Seperti hujan kemarin
    Perciknya membasahi ladang gersang
    Cacing-cacing dan tikus-tikus berhamburan
    Lari terbirit-birit
    Yang tangguh lagi berjiwa besi
    Menari-nari dengan tangkas ditengah hujan batu
    Dan derasnya letupan asap yang membumbung
    Jangan menyerah
    Apalagi mundur
    Seikat badik diujung lidahmu
    Telah berkali-kali diasah
    Tusukkan badikmu tepat dibuhul para edan
    Laknat Ilahi baginya menyertai

    Bila detakmu redup padam
    Tirai cahaya di atas cahaya telah dibuka
    Terbenamlah di sana
    Karena itu tahta bagimu
    Andi Tonro, 30 Juni 2013

    BalasHapus
  4. PENAWAR LUKA
    Sengaja kau siapkan kain basah
    Bagi air mata jelata
    Biar tak nampak butirannya menetes di dasar bumi
    Tetap saja akan tumpah
    Sebab para teknokrat menyulut api
    Hingga sulit mereka padamkan
    Ah…
    Tak usah geram
    Bila babi hutan dan tikus got melenggok diistana presidenan
    Bukankah dikarbit untuk jadi pemain akrobatik
    Menghisab dan menjarah jadi talenta tiada tanding
    Takkan tercium aroma peluh para demonstran
    Bila babi hutan dan tikus got tak berlaga diseantero instansi pemerintahan
    Seikat karangan bunga bagi si miskin
    Sebagai penawar luka
    Biar tak beriak

    Andi Tonro, 2 Juli 2013

    BalasHapus
  5. BULIR PADI UNTUK ANAK CUCU
    Kupayungkan kafan kelabu pada Nusa
    Karena esok akan datang masa paceklik
    Sudah!
    Jangan menunggu bapak menunggang kuda
    BMW dan Merci baru saja membawanya
    Jauh jauh ke seletan
    Jejaki saja tapak kuda kemarin pagi
    Lalu punguti bulir padi di sepanjangnya
    Akan kutemani kau menyemai
    Biar tak disesali anak cucuk kelak

    Andi Tono, 3 Juli 2013

    BalasHapus
  6. SAMPAI FAJAR MENUTUP USIA

    Malam ini bulan redup
    Sayup-sayup kulihat bayangmu mengintip lewat mata angin
    Mendekatlah cinta jangan meragu
    Aku dan sunyi jenuh dengan ratap pilu tak bertepi
    Kursi dihadapanku telah usang, lama tak kau singgahi
    Hanya debu dan dedaunan yang mampir silih berganti
    Kutahu dikeduanya kau mengirim kecup manis untukku

    Sepasang kunang-kunang dari segenap sendi siramkan cahyanya
    Pada hati yang sebentar lagi padam dalam penantian
    Pada jiwa yang sebentar lagi goyah oleh rong-rongan angin malam
    Tengoklah kedalam bilik jantungku
    Dilembarannya tertata rapi karangan puisi
    Sebagai halwat bahwa aku masih setia
    Aku masih rapi tak terjama

    Tahun lalu kau merangkai mawar putih
    Persembahan bagi wanita yang enggan kau sebut namanya
    Maklumatku menyertai gelegakmu
    Bulan kemarin kau ikrar cinta pada kawan mala
    Kusunggingkan senyum manis
    Lalu tempo hari kau lengkungkan janur kuning dengan suci
    Hatiku masih bisa bersenda gurau

    Hari-hari terakhirku hilang warna
    Langit dan bumi jadi kelabu
    Burung-burung mematuk wajahku hingga pucat pasi
    Bahkan sepi dan malam enggan berdamai denganku
    Kutelusuri benang cahaya pada lorong-lorong dan di sepanjang gang-gang
    Terdengar bisik dari kejauhan bahwa kau tak di sana
    Jalan dan aspal menasihatiku
    Namun aku kokoh
    Penduduk kota memberkati langkahku
    Dan semangatku terbakar habis olehnya
    Pada pampflet-pamflet kusam, pada tembok-tembok berlumut, pada tiang listri yang angkuh, pada apa saja yang kulalui kuukir namamu
    Pada Koran-koran kusut, pada pembungkus makanan ringan, pada botol bekas minuman yang tergeletak, pada dedaunan yang terhempas angin, juga pada langit remang
    kulukis wajahmu
    Aku juga memanggil-manggilmu pada semua bunyi-bunyian

    Langkah lunglai tak merobohkan hasratku
    Meski harus bergerayam air mata
    Hingga nampak kabut putih dan asap mengepul dikelopak

    Di atas jalan sempit
    yang ditanami duri, kerikil tajam, dan
    bunga-bunga lagi dikelilingi serigala
    buas dan kupu-kupu yang selalu molek
    kudapati kau diantaranya menari-nari dalam gelobang rapuh

    beranjaklah
    beranjaklah cintaku
    adalah kedustaan menelan pil pahit
    bila rasa dan rasio tidak pada quantumnya

    dan sampai fajar menutup usia
    bara cinta tak akan padam
    karena telah kupahat lama namamu pada altar keabadian
    meski jemarimu tak dapat mendekap bongkahan ragaku




    Andi Tonro, 3 Juli 2013

    BalasHapus